Imam Ahmad berkata:
حَدَّثَنَا حَسَنٌ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ هُبَيْرَةَ عَنْ أَبِي سَالِمٍ الْجَيْشَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ أَنْ يَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِطَلَاقِ أُخْرَى وَلَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَبِيعَ عَلَى بَيْعِ صَاحِبِهِ حَتَّى يَذَرَهُ وَلَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلَاةٍ إِلَّا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ وَلَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلَاةٍ يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ صَاحِبِهِمَا
Telah menceritakan kepada kami Hasan, menceritakan kepada kami Ibn Lahi’ah, beliau berkata, menceritakan kepada kami Abdullah ibn Hubairah dari Abi Salam al-Jaitsani dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhu sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Tidak halal menikahi seorang perempuan dengan mencerai perempuan yang lain, dan tidak halal bagi seorang laki-laki menjual atas dagangan temannya sehingga temannya meninggalkan dagangan itu, dan tidak halal bagi tiga orang yang berada di tanah tidak bertuan, kecuali mereka mengangkat salah satunya jadi amir atas mereka, dan tidak halal bagi tiga orang yang berada di suatu tempat, yang dua berbisik-bisik meninggalkan temannya (yang satu diacuhkan)”. (Musnad Ahmad (2/176) no. 6647)
1. Hadits ini Dho’if
Ibnu Lahi’ah, dia adalah Al-Qodhi Mesir Abu Abdurahman Abdullah ibn Lahi’ah ibn Uqbah Al-Khadrimi. Jumhur muhaditsin berkata, “Beliau dha’if”, hafalannya menjadi kacau setelah kitabnya terbakar, tapi riwayatnya yang diriwayatkan oleh beberapa Abdullah seperti Abdullah ibn Mubarak dan Abdullah ibn Wahab, shahih. Sebab mereka berguru kepadanya sebelum hapalannya kacau. Lain halnya dengan riwayat ini.
Berkata Imam Tirmidzi dalam Sunan (1/16) no. 10, setelah meriwayatkan salah satu hadits Ibnu Lahi’ah :
وبن لهيعة ضعيف عند أهل الحديث
“…dan Ibn Lahi’ah ini dha’if disisi ahli hadits”.
2. Manusia Lahir dalam Keadaan Fitrah (Suci)
Jika mengartikan sebelum manusia berjamaah/berbaiat/beramir adalah haram, maka berarti bayi yang baru lahir juga haram hidupnya karena belum baiat. Pemahaman seperti ini bertentangan dengan hadits shohih, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitroh, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasroni.”
3. Amir dengan Wilayah dan Kekuasaan
Hadits ini, andaipun shahih, maka mengenai kepada amir yang memiliki kekuasaan dan wilayah, bukan yang tidak ada kekuasaan dan wilayah.
Sebagaimana lafazhnya :
بِأَرْضِ فَلَاةٍ
yang berada di tanah (padang, hamparan bumi, pelataran bumi) tidak bertuan.
Yaitu keamiran berhubungan dengan ‘bumi’ (wilayah) bukan tidak memiliki ‘bumi’ (keamiran bawah tanah atau sembunyi-sembunyi).
4. Tidak Halal berarti Tidak Sah Hidupnya, Haram Hidupnya, dan Tidak Halal Ke-Islam-annya ?
Kalau memperhatikan keseluruhan matan atau isi hadits tersebut. Orang yang menikahi seorang perempuan dengan mencerai perempuan yang lain, seorang laki-laki menjual atas dagangan temannya, dan tiga orang yang berada di suatu tempat, yang dua berbisik-bisik meninggalkan yang satunya. Nah, bukankah tidak ada yang berpendapat atau berbicara dalam ‘nasehat pemantapan jama’ah’ bahwa orang-orang yang melakukan dosa-dosa tersebut maka haram hidupnya, kafir (Islamnya batal) karena masih dalam satu hadits dan konteks pembahasan ?
Lafazhnya yaitu :
وَلَا يَحِلُّ
dan tidak halal…
Tidak bisa dimaksudkan : ‘tidak halal hidupnya’ atau ‘tidak halal keislamannya’.
Sebab sejak zaman Sahabat seperti yang terjadi pada Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkali-kali ada kekosongan imam karena perselisihan dan lain sebagainya, ketika masa itu Ibn Umar radhiyallahu’anhuma dan lainnya tidak membai’at siapapun, dan tidak ada anggapan dari sahabat lain bahwa selama itu hidup mereka tidak halal.
Sebuah Fakta
Selain hadits diatas ada banyak lagi hadits yang pengertiannya salah ketika disampaikan oleh muballigh-muballigh/ulama jama’ah. Bahkan setelah di tashihkan di Makkah, ternyata di hadits himpunan sendiri banyak hadits palsu dan dho’if.
Melihat fakta itu, banyak pemahaman yang salah, ada hadits dho’if bahkan palsu, berarti klaim pusat bahwa ‘jama’ah’ yang paling murni dan manqul bersambung sampai Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam itu dipertanyakan. Karena kalau misalnya benar, kenapa dulu sholat hifdzi di amalkan, lalu di revisi, tidak boleh. Kenapa dulu musik halal lalu di revisi jadi menjadi harom. Kenapa dulu riba itu boleh-boleh saja dan sekarang direvisi menjadi harom ?!. Sebuah pertanyaan besar…
Komentar
Posting Komentar